Lingkungan - masalah saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerak perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur.
Lingkungan - persetujuan internasional:
bagian dari: Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah
ditanda tangani, namun belum diratifikasi: Perubahan Iklim - Protokol Kyoto, Pelindungan Kehidupan Laut
Geografi - catatan: di kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504
pulau (6.000 dihuni); dilintasi
katulistiwa; di sepanjang jalur pelayaran utama dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik
PENGARUH IKLIM TERHADAP KEBIJAKAN SUATU NEGARA
Ada hubungan secara langsung maupun tidak langsung antara iklim dan kebijakan politik suatu Negara. Secara tidak langsung, iklim dapat mempengaruhi karakter dan watak suatu Negara yang akan terbawa pada pengambilan kebijakan luar negerinya. Secara langsung, iklim dapat berpengaruh terhadap kebijakan strategis dalam pertahanan keamanan. Jika ada perubahan iklim yang mendadak, pasti akan memunculkan perubahan kebijakan strategis dalam pertahanan keamanan.
Para filsafat ilmu politik memandang bahwa kondisi iklim dari suatu negara sangat luas berpengaruh terhadap aktifitas politik dan lembaganya. Di negara barat Aristotle merupakan orang pertama yang menyebarkan pandangan ini. Dimasa modern, Bodin, Montesquieu, Buckle, dan Rousseau juga memberikan pandangan yang sama atas pengaruh fisik lingkungan terhadap lembaga sosial dan politik. Mostesquieu memberikan perhatian khusus kepada iklim dan kesuburan tanah. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan berpolitik telah lazim didalam kedinginan suasana, dimana perbudakan merupakan kehangatan.
Daerah- daerah pergunungan dapat mendatangkan kemerdekaan, dimana dataran yang subur dapat melahirkan kezaliman. Besarnya pembagian geografis dari Asia menghasilkan kelaliman, persatuan kecil dari Eropa pula yang menggembangkan kebebasan.Masyarakat diperpulauan lebih cenderung terhadap lembaga demokrasi daripada Masyarakat yang tinggal dibenua.
Demikian pula Rousseau berpegang bahwa iklim yang panas mendatangkan kezaliman, sedangkan suasana yang dingin mengarah kepada kebiadaban dan orang- orang yang demokrat merupakan satu kunci menuju pemerintahan yang ideal. Buckle percaya bahwa aktifitas dari satu kelompok atau oknum tidak hanya dikuasai dengan kemauan yang bebas, akan tetapi juga tetap ditentukan oleh fisik lingkungan khususnya dari segi makanan, iklim, dan kondisi umum geografis.
Perubahan iklim adalah isu politik. Inti dari masalah perubahan iklim adalah politik. Politik global telah menciptakan kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan anatara manusia yang satu dengan manusia yang lain, antara Negara yang satu dengan Negara yang lain. System pasar gagal mengakomodasi masalah lingkungan sehingga proses ekonomi meninggalkan masalah serius, seperti penipisan lapisan ozon, kehancuran keragaman hayati, dan perubahan iklim, serta membuat semakin memburuknya situasi kemiskinan di Negara-negara berkembang.
Resiko akibat pemanasan global berbeda-beda. Tetapi kenaikan suhu dua derajat celcius adalah bencana bagi Negara berkembang. Negara-negara pulau kecil, seperti maladewa, terancam tenggelam kalau permukan laut naik. Sementara Negara maju seperti belanda letaknya di bawah permukaan laut, dapat bertahan karena memiliki teknologi. Negara maju tidak memenuhi target protocol Kyoto. Antara tahun 1994 dan 2004 jumlah emisi karbon dioksida di Negara maju, kecuali rusia, polandia, rusia, naik 88 %. Mereka meminta Negara berkembang juga mengurangi emisinya tanpa ahli teknologi dan pendanaan.
Rintangan besar dalam kerjasama global untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, adalah kesenjangan tingkat pendapatan, sumber daya financial, perdagangan, teknologi, control dan hak voting di lembaga-lembaga multi lateral seperti bank dunia, Dana Moneter Internasional, organisasi perdagangan dunia (WTO), serta kurangnya kepatuhan pada demokrasi multilateralisme.
Indonesia adalah contoh negeri yang telah dan sedang menjadi korban perubahan iklim. Banyak negara-negara berkembang mengalami situasi yang sama. Siapa yang harus mengakhiri penderitaan negeri dan warga? Amat jelas, dibutuhkan sejumlah upaya untuuk merekonstruksi, diluar hanya sekedar adaptasi. Ini adalah isu mengenai pembangunan dan hak asasi manusia, bukan sekedar derma atau bantuan. Jawaban atas pertanyaan ini adalah tindakan negara-negara yang memiliki tanggung jawab historis dan terus menerus mengemisi gas rumah kaca dan kapasitas dengan kekayaan yang cukup.
Isu yang penting adalah bagaimana kita bisa menemukan jalan pembangunan bagi negara berkembang yang tidak hanya mengurus perlindungan iklim, tetapi juga jalan untuk mengembangkan standard kehidupan warga dan mengentaskan kemiskinan dalam kerangka ekologi, dan mendorong kebijakan-kebijakan baru di bidang pertanian, industri, perdagangan, dan keuangan.
- Pemerataan Pembagian Indonesia Timur
Visi Indonesia 2025 “Indonesia yang maju, adil dan makmur” dicapai dengan “mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan”, visi ini telah dituangkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005 ‐ 2025 , yang selanjutnya telah dijabarkan pentahapannya dalam empat periode Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Perspektif visi ini secara menyeluruh pada semua aspek pembangunan, yang ditujukan untuk pemerataan secara kewilayahan, secara sektoral dan berdasarkan pelaku pembangunan.
Pencapaian tersebut harus memperhatikan keterpaduan pembangunan sosial, ekonomi dan budaya dengan memperhatikan potensi, karakteristik dan daya dukung lingkungan; menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang antara kawasan berfungsi lindung dan budi daya dalam satu ekosistem pulau dan perairannya; menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah darat, laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam satu kesatuan wilayah kepulauan; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan lintas sektor dan lintas wilayah yang konsisten dengan kebijakan nasional; memulihkan daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan pembangunan.
Tuntutan implementasi kebijakan pembangunan KTI yang semakin kuat dewasa ini merupakan suatu respon kritis dari ketimpangan wilayah yang telah menjadi isu krusial pembangunan nasional, terutama karena
- bersifat struktural, cenderung eksis dalam jangka panjang;
- tidak dapat diatasi hanya melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi secara nasional;
- menghambat kerja pasar, dan oleh sebab itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi; dan
- memicu kerawanan (disintegrasi) sosial dan politik. Sejauh ini, ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat diidentifikasi pada tiga konteks utama, yakni:
- Jawa versus luar Jawa;
- Kawasan Barat Indonesia (KBI) versus Kawasan Timur Indonesia ( KTI ) ; dan
- Perkotaan versus Perdesaan.
Dengan demikian, dalam konteks mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, khususnya pengembangan KTI, perhatian pelaku pembangunan nasional dan khususnya di KTI harus mampu menjangkau komparasi-komparasi yang seimbang dan proporsional untuk mengatasi permasalahan disparitas pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, antara KBI dan KTI serta antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.
Fakta menunjukkan bahwa sekitar 70% kabupaten tertinggal di Indonesia berada di KTI, sebaliknya implementasi kebijakan alokasi keuangan negara sekitar 70% berpihak ke KBI. Artinya, diperlukan kerangka implementasi dan komitmen yang lebih konkrit dari pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan ini. Diperlukan kerangka implementasi perencanaan dan penganggaran secara terpadu oleh semua kementerian dan lembaga pemerintah pusat yang berpihak pada pengembangan KTI.
Aspek ketertinggalan pada sejumlah kabupaten, khususnya di KTI terutama disebabkan oleh 50,81% dari aspek sarana dan prasarana, 18,35% dari perekonomian lokal, 17,41% dari sumber daya manusia, 9,38% bencana alam dan konflik, serta 4,02% dari kelembagaan daerah. Artinya, untuk mengatasi ketertinggalan kabupaten di KTI harus secara komprehensif menjangkau aspek ‐ aspek tersebut, salah satu langkah positif yang dilakukan oleh KPDT adalah bersinergi dengan Kementerian PU (semestinya diikuti oleh kementerian dan lembaga lainnya) untuk mengalokasikan pembangunan infrastruktur kabupaten tertinggal.
Karena itu, untuk membangun KTI, khususnya demi mengejar ketertinggalan dengan KBI diperlukan “Konsolidasi
‐ Inovasi
‐ Sinergi ” dengan semua
stakeholder pembangunan KTI, seperti antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara perbankan dengan pemerintah, antara masyarakat dengan pemerintah, antara dunia usaha dengan pemerintah.
Dalam konteks ini, Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN menjalankan fungsi agen pembangunan, telah melakukan upaya inovatif melalui
Papua Investment Day, dan akan menyusul
Maluku Investment Day, sebuah inovasi yang diharapkan mampu menggerakkan pelaku ekonomi untuk mengakselerasi kemajuan KTI ke depan. Pola-pola kemitraan, seperti
Public-Privat Partnership (PPP), model bedah desa, model kawasan produksi, dan lain sebagainya harus mampu dilanjutkan dan lebih dikembangkan di KTI.p
rinsipnya, pola pengembangan KTI harus mampu menggerakkan segenap
stakeholder, sebagaimana diilustrasikan “gula pembangunan harus diaduk, agar manisnya dapat dirasakan secara merata”, diperlukan kesadaran kolektif di KTI untuk mengelola
resources sebagai modal utama dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Potensi sumber daya KTI, khususnya pada pertanian dan pertambangan, hingga saat ini belum berkontribusi signifikan terhadap output nasional. Meskipun dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai 15%, jauh lebih besar secara nasional, tetapi dari segi besaran dana masih tergolong sangat kecil dibandingkan dana pihak ketiga yang dialokasikan untuk KBI. Celakanya, dana pihak ketiga yang dikucurkan, khususnya dari perbankan hampir 60% merupakan kredit konsumtif dan sangat kecil yang teralokasi pada investasi yang menyentuh pengembangan sektor ril. Akibatnya, pertumbuhan output dan pembukaan kesempatan kerja tetap saja terhambat. Kondisi ini semakin dipersulit dengan ketergantungan fiskal yang besar, khususnya pada DAU dan DAK yang sangat tinggi dialami oleh daerah ‐ daerah di KTI.
Langkah strategis yang harus dikembangkan lebih konkrit lagi, antara lain diperlukan komitmen stakeholder, antara lain untuk ketersediaan infrastruktur melalui skema Public Privat Partnership dan insentif fiskal, menghindari regulasi yg menghambat investasi, keamanan, dan ketersediaan tenaga kerja, serta status tanah yang menuntut penyelesaian rencana tata ruang daerah.
Selain itu, diperlukan skema kerjasama antara propinsi dan kab/kota serta perijinan yang efektif. Diperlukan manajemen pembangunan regional yang terpadu secara fungsional, antar pemerintah daerah, selama ini kerjasama yang terbangun lebih bersifat hirarkial dengan pemerintah pusat, melalui assosiasi pemerintah daerah, dan sebagainya.
Pada sisi lain ada dorongan yang kuat untuk mendisain kembali sistem, membangun kembali institusi untuk keberlanjutan pembangunan, bukan hanya untuk kemajuan pertumbuhan masa kini tetapi menjadikan sumberdaya alam di KTI sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat dapat disejahterakan secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Misalnya, sistem