Menurut Rafi’i (1995) Ilmu cuaca atau meteorologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji peristiwa-peristiwa cuaca dalam jangka waktu dan ruang terbatas, sedangkan ilmu iklim atau klimatologi adalah ilmu pengetahuan yang juga mengkaji tentang gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat dan gejala-gejala tersebut mempunyai sifat umum dalam jangka waktu dan daerah yang luas di atmosfer permukaan bumi.
sedangkan menurut Trenberth, Houghton and Filho (1995) dalam Hidayati mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Menurut Effendy (2001) salah satu akibat dari penyimpangan iklim adalah terjadinya fenomena El-Nino dan La-Nina. Fenomena El-Nino akan menyebabkan penurunan jumlah curah hujan jauh di bawah normal untuk beberapa daerah di Indonesia. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat fenomena La-nina berlangsung.
Geografi Indonesia
Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004; lihat pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia.
Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire). Terdapat puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia.
-
Keadaan Alam
Sebagian ahli membagi Indonesia atas tiga wilayah geografis utama yakni:
Pada zaman es terakhir, sebelum tahun 10.000 SM (Sebelum Masehi), pada bagian barat Indonesia terdapat daratan Sunda yang terhubung ke benua Asia dan memungkinkan fauna dan flora Asia berpindah ke bagian barat Indonesia. Di bagian timur Indonesia, terdapat daratan Sahul yang terhubung ke benua Australia dan memungkinkan fauna dan flora Australia berpindah ke bagian timur Indonesia. Pada bagian tengah terdapat pulau-pulau yang terpisah dari kedua benua tersebut.
Karena hal tersebut maka ahli biogeografi membagi Indonesia atas kehidupan flora dan fauna yakni:
- Daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Asia.
- Daratan Indonesia Bagian Tengah (Wallacea) dengan flora dan fauna endemik/hanya terdapat pada daerah tersebut.
- Daratan Indonesia Bagian Timur dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Australia.
Ketiga bagian daratan tersebut dipisahkan oleh garis maya/imajiner yang dikenal sebagai
Garis Wallace-Weber, yaitu garis maya yang memisahkan Daratan Indonesia Barat dengan daerah Wallacea (Indonesia Tengah), dan
Garis Lyedekker, yaitu garis maya yang memisahkan daerah Wallacea (Indonesia Tengah) dengan daerah IndonesiaTimur.
- Kawasan Barat Indonesia. Terdiri dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali.
- Kawasan Timur Indonesia. Terdiri dari Sulawesi, Maluku, Irian/Papua, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
- Data-data Geografis
Wilayah:
total darat: 1.922.570 km²
daratan non-air: 1.829.570 km²
daratan berair: 93.000 km²
lautan: 3.257.483 km²
Garis batas negara:
total: 2.830 km: Malaysia 1.782 km, Papua Nugini 820 km, Timor Leste 228 km
Negara tetangga yang tidak berbatasan darat: India di barat laut Aceh, Australia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, Birma
Garis pantai: 54.716 km
Klaim kelautan: diukur dari garis dasar kepulauan yang diklaim
zona ekonomi khusus: 200 mil laut
laut yang merupakan wilayah negara: 12 mil laut
Cuaca: tropis; panas, lembab; sedikit lebih sejuk di dataran tinggi
Dataran: kebanyakan dataran rendah di pesisir; pulau-pulau yang lebih besar mempunyai pegunungan di pedalaman
Tertinggi & terendah:
titik terendah: Samudra Hindia 0 m
titik tertinggi: Puncak Jaya 5.030 m
Sumber daya alam: minyak tanah, kayu, gas alam, kuningan, timah, bauksit, tembaga, tanah yang subur, batu bara, emas, perak
Kegunaan tanah:
tanah yang subur: 9,9%
tanaman permanen: 7,2%
lainnya: 82,9% (perk. 1998)
Wilayah yang diairi: 48.150 km² (perk. 1998)
Bahaya alam: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur, tanah longsor.
Lingkungan - masalah saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerak perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur.
Lingkungan - persetujuan internasional:
bagian dari: Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah
ditanda tangani, namun belum diratifikasi: Perubahan Iklim - Protokol Kyoto, Pelindungan Kehidupan Laut
Geografi - catatan: di kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504
pulau (6.000 dihuni); dilintasi
katulistiwa; di sepanjang jalur pelayaran utama dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik
PENGARUH IKLIM TERHADAP KEBIJAKAN SUATU NEGARA
Ada hubungan secara langsung maupun tidak langsung antara iklim dan kebijakan politik suatu Negara. Secara tidak langsung, iklim dapat mempengaruhi karakter dan watak suatu Negara yang akan terbawa pada pengambilan kebijakan luar negerinya. Secara langsung, iklim dapat berpengaruh terhadap kebijakan strategis dalam pertahanan keamanan. Jika ada perubahan iklim yang mendadak, pasti akan memunculkan perubahan kebijakan strategis dalam pertahanan keamanan.
Para filsafat ilmu politik memandang bahwa kondisi iklim dari suatu negara sangat luas berpengaruh terhadap aktifitas politik dan lembaganya. Di negara barat Aristotle merupakan orang pertama yang menyebarkan pandangan ini. Dimasa modern, Bodin, Montesquieu, Buckle, dan Rousseau juga memberikan pandangan yang sama atas pengaruh fisik lingkungan terhadap lembaga sosial dan politik. Mostesquieu memberikan perhatian khusus kepada iklim dan kesuburan tanah. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan berpolitik telah lazim didalam kedinginan suasana, dimana perbudakan merupakan kehangatan.
Daerah- daerah pergunungan dapat mendatangkan kemerdekaan, dimana dataran yang subur dapat melahirkan kezaliman. Besarnya pembagian geografis dari Asia menghasilkan kelaliman, persatuan kecil dari Eropa pula yang menggembangkan kebebasan.Masyarakat diperpulauan lebih cenderung terhadap lembaga demokrasi daripada Masyarakat yang tinggal dibenua.
Demikian pula Rousseau berpegang bahwa iklim yang panas mendatangkan kezaliman, sedangkan suasana yang dingin mengarah kepada kebiadaban dan orang- orang yang demokrat merupakan satu kunci menuju pemerintahan yang ideal. Buckle percaya bahwa aktifitas dari satu kelompok atau oknum tidak hanya dikuasai dengan kemauan yang bebas, akan tetapi juga tetap ditentukan oleh fisik lingkungan khususnya dari segi makanan, iklim, dan kondisi umum geografis.
Perubahan iklim adalah isu politik. Inti dari masalah perubahan iklim adalah politik. Politik global telah menciptakan kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan anatara manusia yang satu dengan manusia yang lain, antara Negara yang satu dengan Negara yang lain. System pasar gagal mengakomodasi masalah lingkungan sehingga proses ekonomi meninggalkan masalah serius, seperti penipisan lapisan ozon, kehancuran keragaman hayati, dan perubahan iklim, serta membuat semakin memburuknya situasi kemiskinan di Negara-negara berkembang.
Resiko akibat pemanasan global berbeda-beda. Tetapi kenaikan suhu dua derajat celcius adalah bencana bagi Negara berkembang. Negara-negara pulau kecil, seperti maladewa, terancam tenggelam kalau permukan laut naik. Sementara Negara maju seperti belanda letaknya di bawah permukaan laut, dapat bertahan karena memiliki teknologi. Negara maju tidak memenuhi target protocol Kyoto. Antara tahun 1994 dan 2004 jumlah emisi karbon dioksida di Negara maju, kecuali rusia, polandia, rusia, naik 88 %. Mereka meminta Negara berkembang juga mengurangi emisinya tanpa ahli teknologi dan pendanaan.
Rintangan besar dalam kerjasama global untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, adalah kesenjangan tingkat pendapatan, sumber daya financial, perdagangan, teknologi, control dan hak voting di lembaga-lembaga multi lateral seperti bank dunia, Dana Moneter Internasional, organisasi perdagangan dunia (WTO), serta kurangnya kepatuhan pada demokrasi multilateralisme.
Indonesia adalah contoh negeri yang telah dan sedang menjadi korban perubahan iklim. Banyak negara-negara berkembang mengalami situasi yang sama. Siapa yang harus mengakhiri penderitaan negeri dan warga? Amat jelas, dibutuhkan sejumlah upaya untuuk merekonstruksi, diluar hanya sekedar adaptasi. Ini adalah isu mengenai pembangunan dan hak asasi manusia, bukan sekedar derma atau bantuan. Jawaban atas pertanyaan ini adalah tindakan negara-negara yang memiliki tanggung jawab historis dan terus menerus mengemisi gas rumah kaca dan kapasitas dengan kekayaan yang cukup.
Isu yang penting adalah bagaimana kita bisa menemukan jalan pembangunan bagi negara berkembang yang tidak hanya mengurus perlindungan iklim, tetapi juga jalan untuk mengembangkan standard kehidupan warga dan mengentaskan kemiskinan dalam kerangka ekologi, dan mendorong kebijakan-kebijakan baru di bidang pertanian, industri, perdagangan, dan keuangan.
- Pemerataan Pembagian Indonesia Timur
Visi Indonesia 2025 “Indonesia yang maju, adil dan makmur” dicapai dengan “mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan”, visi ini telah dituangkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005 ‐ 2025 , yang selanjutnya telah dijabarkan pentahapannya dalam empat periode Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Perspektif visi ini secara menyeluruh pada semua aspek pembangunan, yang ditujukan untuk pemerataan secara kewilayahan, secara sektoral dan berdasarkan pelaku pembangunan.
Pencapaian tersebut harus memperhatikan keterpaduan pembangunan sosial, ekonomi dan budaya dengan memperhatikan potensi, karakteristik dan daya dukung lingkungan; menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang antara kawasan berfungsi lindung dan budi daya dalam satu ekosistem pulau dan perairannya; menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah darat, laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam satu kesatuan wilayah kepulauan; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan lintas sektor dan lintas wilayah yang konsisten dengan kebijakan nasional; memulihkan daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan pembangunan.
Tuntutan implementasi kebijakan pembangunan KTI yang semakin kuat dewasa ini merupakan suatu respon kritis dari ketimpangan wilayah yang telah menjadi isu krusial pembangunan nasional, terutama karena
- bersifat struktural, cenderung eksis dalam jangka panjang;
- tidak dapat diatasi hanya melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi secara nasional;
- menghambat kerja pasar, dan oleh sebab itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi; dan
- memicu kerawanan (disintegrasi) sosial dan politik. Sejauh ini, ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat diidentifikasi pada tiga konteks utama, yakni:
- Jawa versus luar Jawa;
- Kawasan Barat Indonesia (KBI) versus Kawasan Timur Indonesia ( KTI ) ; dan
- Perkotaan versus Perdesaan.
Dengan demikian, dalam konteks mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, khususnya pengembangan KTI, perhatian pelaku pembangunan nasional dan khususnya di KTI harus mampu menjangkau komparasi-komparasi yang seimbang dan proporsional untuk mengatasi permasalahan disparitas pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, antara KBI dan KTI serta antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.
Fakta menunjukkan bahwa sekitar 70% kabupaten tertinggal di Indonesia berada di KTI, sebaliknya implementasi kebijakan alokasi keuangan negara sekitar 70% berpihak ke KBI. Artinya, diperlukan kerangka implementasi dan komitmen yang lebih konkrit dari pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan ini. Diperlukan kerangka implementasi perencanaan dan penganggaran secara terpadu oleh semua kementerian dan lembaga pemerintah pusat yang berpihak pada pengembangan KTI.
Aspek ketertinggalan pada sejumlah kabupaten, khususnya di KTI terutama disebabkan oleh 50,81% dari aspek sarana dan prasarana, 18,35% dari perekonomian lokal, 17,41% dari sumber daya manusia, 9,38% bencana alam dan konflik, serta 4,02% dari kelembagaan daerah. Artinya, untuk mengatasi ketertinggalan kabupaten di KTI harus secara komprehensif menjangkau aspek ‐ aspek tersebut, salah satu langkah positif yang dilakukan oleh KPDT adalah bersinergi dengan Kementerian PU (semestinya diikuti oleh kementerian dan lembaga lainnya) untuk mengalokasikan pembangunan infrastruktur kabupaten tertinggal.
Karena itu, untuk membangun KTI, khususnya demi mengejar ketertinggalan dengan KBI diperlukan “Konsolidasi
‐ Inovasi
‐ Sinergi ” dengan semua
stakeholder pembangunan KTI, seperti antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara perbankan dengan pemerintah, antara masyarakat dengan pemerintah, antara dunia usaha dengan pemerintah.
Dalam konteks ini, Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN menjalankan fungsi agen pembangunan, telah melakukan upaya inovatif melalui
Papua Investment Day, dan akan menyusul
Maluku Investment Day, sebuah inovasi yang diharapkan mampu menggerakkan pelaku ekonomi untuk mengakselerasi kemajuan KTI ke depan. Pola-pola kemitraan, seperti
Public-Privat Partnership (PPP), model bedah desa, model kawasan produksi, dan lain sebagainya harus mampu dilanjutkan dan lebih dikembangkan di KTI.p
rinsipnya, pola pengembangan KTI harus mampu menggerakkan segenap
stakeholder, sebagaimana diilustrasikan “gula pembangunan harus diaduk, agar manisnya dapat dirasakan secara merata”, diperlukan kesadaran kolektif di KTI untuk mengelola
resources sebagai modal utama dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Potensi sumber daya KTI, khususnya pada pertanian dan pertambangan, hingga saat ini belum berkontribusi signifikan terhadap output nasional. Meskipun dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai 15%, jauh lebih besar secara nasional, tetapi dari segi besaran dana masih tergolong sangat kecil dibandingkan dana pihak ketiga yang dialokasikan untuk KBI. Celakanya, dana pihak ketiga yang dikucurkan, khususnya dari perbankan hampir 60% merupakan kredit konsumtif dan sangat kecil yang teralokasi pada investasi yang menyentuh pengembangan sektor ril. Akibatnya, pertumbuhan output dan pembukaan kesempatan kerja tetap saja terhambat. Kondisi ini semakin dipersulit dengan ketergantungan fiskal yang besar, khususnya pada DAU dan DAK yang sangat tinggi dialami oleh daerah ‐ daerah di KTI.
Langkah strategis yang harus dikembangkan lebih konkrit lagi, antara lain diperlukan komitmen stakeholder, antara lain untuk ketersediaan infrastruktur melalui skema Public Privat Partnership dan insentif fiskal, menghindari regulasi yg menghambat investasi, keamanan, dan ketersediaan tenaga kerja, serta status tanah yang menuntut penyelesaian rencana tata ruang daerah.
Selain itu, diperlukan skema kerjasama antara propinsi dan kab/kota serta perijinan yang efektif. Diperlukan manajemen pembangunan regional yang terpadu secara fungsional, antar pemerintah daerah, selama ini kerjasama yang terbangun lebih bersifat hirarkial dengan pemerintah pusat, melalui assosiasi pemerintah daerah, dan sebagainya.
Pada sisi lain ada dorongan yang kuat untuk mendisain kembali sistem, membangun kembali institusi untuk keberlanjutan pembangunan, bukan hanya untuk kemajuan pertumbuhan masa kini tetapi menjadikan sumberdaya alam di KTI sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat dapat disejahterakan secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Misalnya, sistem
pengelolaan usaha dari bisnis kayu yang dikelola oleh masyarakat dan bermitra dengan sektor swasta, sehingga diversifikasi pada
ownership, diharapkan manfaat/keuntungannya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang. Kerangka implementasi ini selanjutnya dapat jabarkan, misalnya:
- pemerintah mendukung kegiatan masyakarat mengelola usaha dari bisnis kayu (dan SDA alam lainnya) dengan mendorong kolaborasi dengan sektor swasta;
- Akademisi mengambil peran untuk memajukan penelitian agar dapat mendukung upaya bisnis yang dikelola masyarakat; dan
- NGO dapat mendukung dengan peran yang relevan, seperti melakukan pendampingan untuk penguatan institusi masyarakat.
Selain itu, diperlukan kerangka implementasi pengelolaan sumberdaya alam yang berkesinambungan dengan pola rehabilitasi dan konservasi. Termasuk memperhatikan pengembangan SDM yang menunjang pola sustainabilitas ini. Seluruh stakeholder memberikan kontribusi yang nyata dengan pola sustainabilitas ini dengan suatu keterpaduan usaha yang konsisten. Termasuk keterpaduan antar wilayah yang bisa memberikan sinergitas dalam meningkatkan nilai komoditas antar wilayah.
Indeks pembangunan manusia (IPM) merupakan proksi rata
‐ rata pencapaian pembangunan manusia sebuah negara atau wilayah dalam 3 dimensi/indikator dasar pembangunan manusia:
- Hidup yang sehat dan panjang umur, yang diukur dengan Angka Harapan Hidup (AHH) pada saat kelahiran;
- Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis (melek huruf, bobot 2/3) pada orang dewasa dan Angka Partisipasi Kasar (APK, bobot 1/3) dari kombinasi pendidikan dasar dan menengah;
- Kemampuan daya beli masyarakat atau Purchasing Power Parity (PPP) yang biasanya dikonversi atau diproxy dengan GDP per kapita atau PDRB per kapita.
Kecuali Sulawesi Utara, 11 dari 12 provinsi se‐KTI memiliki IPM di bawah rata ‐ rata nasional (71,17). Tiga provinsi yg memiliki IPM tinggi adalah Sulawesi Utara, Maluku, dan Sulawesi Selatan, sedangkan provinsi dengan IPM rendah adalah Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kondisi IPM di KTI yg relatif rendah sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan penduduk di wilayah tersebut. Tercatat penduduk miskin di Papua sekitar 37%, di Papua Barat sekitar 35%, di NTB sekitar 24%, dan di NTT sekitar 26% dari populasi masing‐masing provinsi. Karena kemiskinan tersebut menyebabkan masyarakat di wilayah KTI memiliki kemampuan yang sangat terbatas untuk mengakses pendidikan dan kesehatan yang bermutu, meskipun saat ini telah banyak berbagai program bantuan untuk pendidikan dan kesehatan.
Permasalahan masih rendahnya aksesibilitas dan kemampuan penduduk miskin untuk mendapatkan pelayanan dasar, terutama kesehatan dan pendidikan, dan hal ini akan menjadi tantangan terbesar bagi peningkatan IPM. Oleh karena itu diperlukan adanya program yang bersifat terobosan /inovasi serta percepatan terutama dalam sektor pendidikan dan kesehatan oleh pemda baik provinsi dan terutama kabupaten/kota diwilayah KTI Ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan oleh pemda provinsi maupun kabupaten/kota di wilayah KTI untuk peningkatan IPM, yakni :
- memilih indikator‐indikator yang memberikan kontribusi yang cepat untuk peningkatan IPM, antara lain melalui :
- Melaksanakan program pemberantasan buta aksara, dan peningkatan rata‐rata lama sekolah melalui perbaikan mutu pendidikan sehingga dapat mengurangi angka droup‐out dan meningkatkan angka melanjutkan sekolah pada berbagai jenjang. Hal ini berdampak pada peningkatan angka partisipasi sekolah;
- Intervensi pada program peningkatan kedaulatan pangan dan berfokus pada peningkatan gizi serta peningkatan mutu kesehatan;
- Mengurangi mis‐alokasi anggaran melalui mapping anggaran terutama pada wilayahwilayah yang mempunyai gizi buruk, angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) tinggi, APK dan APM rendah, serta angka buta aksara tinggi.
- Secara berkelanjutan, dengan: (a) Memprioritaskan pada program pemberantasan kemiskinan melalui program‐program pemberdayaan dalam rangka pembangunan ekonomi; (b) Prioritas pembangunan pada perkembangan anak dengan melakukan intervensi sejak anak masih di dalam kandungan baik terhadap anak maupun ibu. Demikian pula, peran serta ibu dan ayah dalam pemeliharaan anak secara bersama ‐ sama sangat menentukan. Selain itu, telah banyak inisiatif lokal yang dapat dijadikan smart practice untuk peningkatan IPM di KTI, misalnya Kampanye ASI‐Eksklusif, tersedianya ruang menyusui ditempat bekerja ibu, kemitraan bidan dan dukun, program kelambu anti malaria dan garam beryodium, dan lain sebagainya. Untuk maksud ini diperlukan keseriusan pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan recording dan selanjutnya penyebarluasan smart practice yang ada pada setiap daerah, untuk selanjutnya dapat menjadi pembelajaran bagi daerah lainnya, khususnya di KTI.
- Dengan demikian, dapat dicermati sejumlah persyaratan untuk peningkatan IPM, dengan mencoba mengambil pembelajaran pada sejumlah daerah, antara lain: (a) Harus ada komitmen yang sungguhsungguh dari kepala daerah dan kemauan dari DPRD yang berpihak pada kesejahteraan rakyat serta kesadaran dari masyarakat; (b) setiap daerah semestinya mempunyai visi tentang ke arah mana peningkatan IPM yang diharapkan seperti yang dilakukan oleh Pemda Provinsi NTB dengan gerakan 3 A : Angka Kematian Ibu Melahirkan Nol (AKINO), Angka Buta Aksara Nol (ABSANO) dan Angka Droup Out Nol (ADONO), contoh‐contoh lain semestinya lebih banyak lagi harus mampu dipublikasikan oleh pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga terkait.
Oleh karena itu dapat diusulkan sejumlah solusi yang terkait dengan peningkatan IPM di KTI, antara lain: (
- Dalam pembangunan dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya IPM yang menjadi perhatian, tapi juga IPG (Indeks Pembangunan Gender) dan IDG (Indeks Pemberdayaan Gender);
- Ikon‐ikon program dari kepala daerah sebaiknya pada program‐program yang mendukung peningkatan IPM;
- Nilai‐nilai lokal perlu diangkat sebagai semboyan hidup dalam masyarakat seperti: semboyan hidup masyarakat Sulawesi Utara: “SITOU TIMOU TUMOU TOU” yang secara harafiah diartikan “manusia hidup untuk memanusiakan orang lain”. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan endogen yang menghendaki bahwa agar tercipta kondisi keberlanjutan, maka 3 unsur pembangunan – termasuk human development –harus tersedia, yaitu: norms (N), organization (O), dan resources (R).
Mengingat peningkatan IPM terkait dengan sejumlah kelembagaan/institusi, bukan hanya pada tingkat daerah tetapi juga pada tingkat nasional, bahkan global, maka diperlukan sinergi dan keterpaduan secara komprehensif terkait dengan peningkatan IPM, khususnya terkait dengan peningkatan layanan terhadap hak‐hak dasar masyarakat.
Karena itu, diperlukan visi bersama IPM pada semua lembaga/institusi terkait pada semua tingkatan, yang selanjutnya menjadi paying hukum yang bersifat mengikat pada setiap tingkatan pemerintahan untuk memberikan prioritas pada program peningkatan IPM. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengan pelaporan kegiatan pemerintah daerah yang kesemuanya berujung pada pengukuran tingkat pencapaian pembangunan manusia daerah bersangkutan harus mampu disikapi secara konkrit.
Hal ini dilakukan dengan peningkatan kapasitas daerah dalam manajemen perencanaan pembangunan yang lebih efisien dan efektif dengan mendorong peningkatan IPM daerah bersangkutan.
Hal-hal itulah yang harus menjadi konsentrasi dari pemerintah daerah yang harapannya terimplementasikan dalam rencana strategis daerah untuk melakukan peningkatan pembagunan di daerah di kawasan Timur Indonesia ini.
* SElESAI *